Selasa, 31 Mei 2011

Narkoba Mempengaruhi Kerja Otak

Posted by VidhyFun 09.04, under | No comments

Tahukah Anda bahwa pemakaian narkoba sangat mempengaruhi kerja otak yang berfungsi sebagai pusat kendali tubuh dan mempengaruhi seluruh fungsi tubuh? Karena bekerja pada otak, narkoba mengubah suasana perasaan, cara berpikir, kesadaran dan perilaku pemakainya. Itulah sebabnya narkoba disebut zat psikoaktif.
Ada beberapa macam pengaruh narkoba pada kerja otak. Ada yang menghambat kerja otak, disebut depresansia, sehingga kesadaran menurun dan timbul kantuk. Contoh golongan opioida (candu, morfin, heroin, petidin), obat penenang/tidur (sedativa dan hipnotika) seperti pil BK, Lexo, Rohyp, MG dan sebagainya, serta alkohol.
Ada narkoba yang memacu kerja otak, disebut stimulansia, sehingga timbul rasa segar dan semangat, percaya diri meningkat, hubungan dengan orang lain menjadi akrab, akan tetapi menyebabkan tidak bisa tidur, gelisah, jantung berdebar lebih cepat dan tekanan darah meningkat. Contoh amfetamin, ekstasi, shabu, kokain, dan nikotin yang terdapat dalam tembakau. Ada pula narkoba yang menyebabkan khayal, disebut halusinogenika. Contoh LSD. Ganja menimbulkan berbagai pengaruh, seperti berubahnya persepsi waktu dan ruang, serta meningkatnya daya khayal, sehingga ganja dapat digolongkan sebagai halusinogenika. Dalam sel otak terdapat bermacam-macam zat kimia yang disebut neurotransmitter. Zat kimia ini bekerja pada sambungan sel saraf yang satu dengan sel saraf lainnya (sinaps). Beberapa di antara neurotransmitter itu mirip dengan beberapa jenis narkoba. Semua zat psikoaktif (narkotika, psikotropika dan bahan adiktif lain) dapat mengubah perilaku, perasaan dan pikiran seseorang melalui pengaruhnya terhadap salah satu atau beberapa neurotransmitter. Neurotransmitter yang paling berperan dalam terjadinya ketergantungan adalah dopamin.

Bagian otak yang bertanggung jawab atas kehidupan perasaan adalah sistem limbus. Hipotalamus adalah bagian dari sistem limbus, sebagai pusat kenikmatan. Jika narkoba masuk ke dalam tubuh, dengan cara ditelan, dihirup, atau disuntikkan, maka narkoba mengubah susunan biokimiawi neurotransmitter pada sistem limbus. Karena ada asupan narkoba dari luar, produksi dalam tubuh terhenti atau terganggu, sehingga ia akan selalu membutuhkan narkoba dari luar.

Yang terjadi pada ketergantungan adalah semacam pembelajaran sel-sel otak pada pusat kenikmatan. Jika mengonsumsi narkoba, otak membaca tanggapan orang itu. Jika merasa nyaman, otak mengeluarkan neurotransmitter dopamin dan akan memberikan kesan menyenangkan. Jika memakai narkoba lagi, orang kembali merasa nikmat seolah-olah kebutuhan batinnya terpuaskan. Otak akan merekamnya sebagai sesuatu yang harus dicari sebagai prioritas sebab menyenangkan. Akibatnya, otak membuat program salah, seolah-olah orang itu memerlukannya sebagai kebutuhan pokok. Terjadi kecanduan atau ketergantungan.

Pada ketergantungan, orang harus senantiasa memakai narkoba, jika tidak, timbul gejala putus zat, jika pemakaiannya dihentikan atau jumlahnya dikurangi. Gejalanya bergantung jenis narkoba yang digunakan. Gejala putus opioida (heroin) mirip orang sakit flu berat, yaitu hidung berair, keluar air mata, bulu badan berdiri, nyeri otot, mual, muntah, diare, dan sulit tidur. Narkoba juga mengganggu fungsi organ-organ tubuh lain, seperti jantung, paru-paru, hati dan sistem reproduksi, sehingga dapat timbul berbagai penyakit. Contoh: opioida menyebabkan sembelit, gangguan menstruasi, dan impotensi. Jika memakai jarum suntik bergantian berisiko tertular virus hepatitis B/C (penyakit radang hati). Juga berisiko tertular HIV/AIDS yang menurunkan kekebalan tubuh, sehingga mudah terserang infeksi, dan dapat menyebabkan kematian. Ganja menyebabkan hilangnya minat, daya ingat terganggu, gangguan jiwa, bingung, depresi, serta menurunnya kesuburan. Sedangkan kokain dapat menyebabkan tulang sekat hidung menipis atau berlubang, hilangnya memori, gangguan jiwa, kerja jantung meningkat, dan serangan jantung.
Jadi, perasaan nikmat, rasa nyaman, tenang atau rasa gembira yang dicari mula-mula oleh pemakai narkoba, harus dibayar sangat mahal oleh dampak buruknya, seperti ketergantungan, kerusakan berbagai organ tubuh, berbagai macam penyakit, rusaknya hubungan dengan keluarga dan teman-teman, rongrongan bahkan kebangkrutan keuangan, rusaknya kehidupan moral, putus sekolah, pengangguran, serta hancurnya masa depan dirinya. (Adi KSG IV)



Pengaruh Narkoba terhadap Sistem Saraf
DEWASA ini, banyak orang yang mengonsumsi obat-obatan atau narkoba, mulai dari anak kecil sampai dewasa, bahkan orang yang lanjut usia. Sebenarnya, narkoba ini digunakan di rumah sakit-rumah sakit, seperti narkotika yang digunakan untuk menghilangkan rasa sakit pasien pada saat operasi.
Untuk pemakaian ini, narkotika harus digunakan sesuai dengan dosis yang tepat dan di bawah pengawasan dokter. Namun, karena efeknya yang dianggap dapat membuat jiwa lebih tenang dan nyaman, ada upaya sebagian orang untuk menyalahgunakannya, yaitu menenangkan jiwa yang sedang kacau sehingga beban tersebut terasa hilang. Padahal, beban tersebut tetap ada, malahan pemakaian obat-obatan tersebut menambah masalah baru bagi dirinya, terutama kesehatannya. Masalah tersebut akan timbul apabila si pemakai telah merasa ketagihan, yaitu dengan rusaknya alat tubuh terutama sistem saraf, penurunan gairah seksual, dan kemandulan.
Ada empat macam obat yang berpengaruh terhadap sistem saraf, yaitu:
1. Sedatif, yaitu golongan obat yang dapat mengakibatkan menurunnya aktivitas normal otak. Contohnya valium.
2. Stimulans, yaitu golongan obat yang dapat mempercepat kerja otak. Contohnya kokain.
3. Halusinogen, yaitu golongan obat yang mengakibatkan timbulnya penghayalan pada si pemakai. Contohnya ganja, ekstasi, dan sabu-sabu.
4. Painkiller, yaitu golongan obat yang menekan bagian otak yang bertanggung jawab sebagai rasa sakit. Contohnya morfin dan heroin.
Penggunaan obat-obatan ini memiliki pengaruh terhadap kerja sistem saraf, misalnya hilangnya koordinasi tubuh, karena di dalam tubuh pemakai, kekurangan dopamin. Dopamin merupakan neurotransmitter yang terdapat di otak dan berperan penting dalam merambatkan impuls saraf ke sel saraf lainnya. Hal ini menyebabkan dopamin tidak dihasilkan. Apabila impuls saraf sampai pada bongkol sinapsis, maka gelembung-gelembung sinapsis akan mendekati membran presinapsis.
Namun karena dopamin tidak dihasilkan, neurotransmitte tidak dapat melepaskan isinya ke celah sinapsis sehingga impuls saraf yang dibawa tidak dapat menyebrang ke membran post sinapsis. Kondisi tersebut menyebabkan tidak terjadinya depolarisasi pada membran post sinapsis dan tidak terjadi potensial kerja karena impuls saraf tidak bisa merambat ke sel saraf berikutnya.
Efek lain dari penggunaan obat-obatan terlarang adalah hilangnya kendali otot gerak, kesadaran, denyut jantung melemah, hilangnya nafsu makan, terjadi kerusakan hati dan lambung, kerusakan alat respirasi, gemetar terus-menerus, terjadi kram perut dan bahkan mengakibatkan kematian. Untuk menyembuhkan para pencandu diperlukan terapi yang tepat dengan mengurangi konsumsi obat-obatan sedikit demi sedikit di bawah pengawasan dokter dan diperlukan dukungan moral dari keluarga serta lingkungannya yang diiringi oleh tekad si pemakai untuk segera sembuh. Hal yang paling penting adalah ditumbuhkannya nilai agama dalam diri si pemakai.
Sehat Bugar: Narkoba Bisa Merusak Sistem Saraf

| |
Akibatnya, Bisa Menimbulkan Kecacatan Permanen
DEWASA ini, banyak orang yang mengonsumsi obat-obatan atau narkoba, mulai dari anak kecil sampai dewasa, bahkan orang yang lanjut usia. Sebenarnya, narkoba ini digunakan di rumah sakit, seperti narkotika yang digunakan untuk menghilangkan rasa sakit pasien pada saat operasi. Namun, karena efeknya yang dianggap dapat membuat jiwa lebih tenang dan nyaman, ada upaya sebagian orang untuk menyalahgunakannya, yaitu menenangkan jiwa yang sedang kacau sehingga beban tersebut terasa hilang. Padahal, beban tersebut tetap ada, malahan pemakaian obat-obatan tersebut menambah masalah baru bagi dirinya, terutama kesehatannya. Salah satu efeknya bagi kesehatan adalah gangguan pada sistem saraf.

Menurut dr Idrat Riowastu SpS, ada empat macam obat yang berpengaruh terhadap sistem saraf, yakni jenis sedatif, yaitu golongan obat yang dapat mengakibatkan menurunnya aktivitas normal otak. Contohnya valium. Ada juga, stimulans, yaitu golongan obat yang dapat mempercepat kerja otak. Contohnya kokain.
Jenis lainnya yakni halusinogen, yaitu golongan obat yang mengakibatkan timbulnya penghayalan pada si pemakai. Contohnya ganja, ekstasi, dan sabu-sabu. Terakhir jenis painkiller, yaitu golongan obat yang menekan bagian otak yang bertanggung jawab sebagai rasa sakit. Contohnya morfin dan heroin.
Penggunaan obat-obatan ini memiliki pengaruh terhadap kerja sistem saraf. Ada empat macam gangguan terhadap saraf. Pertama, gangguan saraf sensorik, dimana ada rasa kebas, penglihatan buram hingga bisa menyebabkan kebutaan. “Kasus buta akibat penggunaan narkoba sudah pernah saya temukan kasusnya,” ujarnya saat ditemui di Rumah Sakit Raden Mattaher (RSRM) Jambi.
Kedua gangguan saraf otonom. Gangguan ini menyebabkan gerakan yang tidak dikehendaki melalui gerak motorik. Sehingga orang yang dalam keadaan mabuk bisa melakukan apa saja di luar kesadarannya. “Misalnya saat mabuk, mengganggu orang, berkelahi dan sebagainya,” ujar dr Idrat.
Ketiga, gerakan gangguan saraf motorik. Gerakan tanpa koordinasi dengan sistem motoriknya. “Orang lagi on, kepalanya goyang-goyang sendiri, pengaruh obat hilang, baru berhenti,” ujarnya. Keempat gangguan saraf vegetatif yakni terkait bahasa yang keluar. Bahasa yang keluar di luar kesadaran, ngawur, biasanya juga disertai gaya bicara yang pelo.
Pengaruh lain ke otak, timbul rasa takut, kurang percaya diri jika tidak menggunakannya dan gangguan memori. Dalam jangka panjang secara perlahan bisa merusak sistem saraf di otak mulai dari ringan hingga permanen. “Saat penggunaan obat, muatan listrik dalam otak berlebihan, jika ini sudah kecanduan, maka lama-lama kelamaan saraf bisa rusak,” ujarnya.
Lalu bagaimana narkoba bisa menghilangkan koordinasi tubuh?
Menurut dr Idrat, hilangnya koordinasi tubuh, karena di dalam tubuh pemakai, kekurangan dopamin. Dopamin merupakan neurotransmitter yang terdapat di otak dan berperan penting dalam merambatkan impuls saraf ke sel saraf lainnya. Hal ini menyebabkan dopamin tidak dihasilkan. Apabila impuls saraf sampai pada bongkol sinapsis, maka gelembung-gelembung sinapsis akan mendekati membran presinapsis.
Namun karena dopamin tidak dihasilkan, neurotransmitte tidak dapat melepaskan isinya ke celah sinapsis sehingga impuls saraf yang dibawa tidak dapat menyeberang ke membran post sinapsis. Kondisi tersebut menyebabkan tidak terjadinya depolarisasi pada membran post sinapsis dan tidak terjadi potensial kerja karena impuls saraf tidak bisa merambat ke sel saraf berikutnya.
Untuk itu, ia mengharapkan kepada masyarakat luas untuk tidak mengonsumsi obat-obat terlarang ini, karena sangat membahayakan kesehatan. Tidak hanya itu, jika overdosis bisa menyebabkan kematian. Saraf merupakan salah satu organ penting pada manusia yang mengatur sistem tubuh. Jika ia mengalami kerusakan maka bisa menyebabkan kecacatan yang permanen dan sulit untuk diperbaiki.
Selain itu, efek lain terhadap organ tubuh lainnya juga tidak kalah berbahaya, seperti bagi jantung, hati, ginjal, dan organ penting tubuh lainnya. “Ini baru sedikit efek bagi sistem saraf saja, jadi sebaiknya dijauhi,” pungkasnya.(*)


Seperti dijelaskan di atas, efek yang ditimbulkan oleh NARKOBA dapat membuat pemakainya kehilangan kontrol atas dirinya, sehingga terkadang melakukan hal-hal yang tidak akan dilakukannya apabila ia sedang dalam kesadaran penuh.

Misalnya, di bawah pengaruh NARKOBA (terutama yang bersifat stimulan dan halusinogen) sepasang remaja bisa melakukan hubungan seks yang tidak aman, yang buntut-buntutnya dapat menyebabkan kehamilan yang tidak diinginkan atau penularan penyakit kelamin.
Selain itu, bergantian memakai jarum suntik juga dapat menularkan virus seperti HIV yang menyebabkan AIDS dan virus Hepatitis B dan C. Jarum suntik yang tidak steril juga menjadi pintu masuk bagi bakteri-bakteri yang suka ngendon di katup jantung, sehingga pecandu NARKOBA suntikan tak jarang yang mengalami kerusakan jantung.

Pada dasarnya, semua obat adalah racun, yang apabila dikonsumsi melebihi dosis yang aman dapat membahayakan kesehatan bahkan dapat sampai menimbulkan kematian. Demikian pula dengan obat-obatan atau zat yang bersifat adiktif atau menimbulkan ketagihan. Apabila seseorang sudah pernah mencoba NARKOBA dan menikmatinya, besar kemungkinan ia ingin mengulangi pengalaman itu. Apabila hal ini berlangsung lebih sering, maka ia akan memasuki tahap pembiasaan, di mana penggunaan NARKOBA sudah menjadi kebiasaannya.

Tahap yang mengikuti tahap pembiasaan adalah tahap kompulsif yaitu mengalami ketergantungan dan tidak dapat mengendalikan pemakaian obat-obatan tadi. Dalam keadaan ketagihan, pecandu merasa sangat tidak nyaman dan kesakitan. Baginya, tidak ada lagi yang lebih penting daripada mendapatkan zat yang menyebabkan dia ketagihan itu. Untuk mendapatkan itu dia dapat melakukan apa pun, seperti mencuri, bahkan membunuh.

Konsumsi zat adiktif terus-menerus dapat menyebabkan peningkatan toleransi tubuh sehingga pemakai tidak dapat mengontrol penggunaannya dan cenderung untuk terus meningkatkan dosis pemakaian sampai akhirnya tubuhnya tidak dapat menerima lagi. Keadaan ini disebut overdosis, dan apabila tidak ditangani secara cepat dan tepat, dapat menyebabkan nyawa melayang.
Overdosis juga dapat disebabkan oleh penggunaan campuran dua jenis atau lebih NARKOBA. Mencampur beberapa jenis sangat berbahaya karena kalau NARKOBA dicampur, pengaruhnya akan lebih dahsyat bahkan dapat menimbulkan reaksi lain yang tak terduga. Campuran yang paling berbahaya adalah campuran dua macam antidepresan misa1nya heroin dan alkohol dan / atau valium rohypnol. Pengaruh sinergi dari dua jenis antidepresan dapat menutup rapat pusat pernapasan otak, yang mengakibatkan koma atau kematian 
Dampak Fisik:
1. Gangguan pada system syaraf (neurologis) seperti: kejang-kejang, halusinasi, gangguan kesadaran, kerusakan syaraf tepi
2. Gangguan pada jantung dan pembuluh darah (kardiovaskuler) seperti: infeksi akut otot jantung, gangguan peredaran darah
3. Gangguan pada kulit (dermatologis) seperti: penanahan (abses), alergi, eksim
4. Gangguan pada paru-paru (pulmoner) seperti: penekanan fungsi pernapasan, kesukaran bernafas, pengerasan jaringan paru-paru
5. Sering sakit kepala, mual-mual dan muntah, murus-murus, suhu tubuh meningkat, pengecilan hati dan sulit tidur
6. Dampak terhadap kesehatan reproduksi adalah gangguan padaendokrin, seperti: penurunan fungsi hormon reproduksi (estrogen, progesteron, testosteron), serta gangguan fungsi seksual
7. Dampak terhadap kesehatan reproduksi pada remaja perempuan antara lain perubahan periode menstruasi, ketidakteraturan menstruasi, dan amenorhoe (tidak haid)
8. Bagi pengguna narkoba melalui jarum suntik, khususnya pemakaian jarum suntik secara bergantian, risikonya adalah tertular penyakit seperti hepatitis B, C, dan HIV yang hingga saat ini belum ada obatnya
9. Penyalahgunaan narkoba bisa berakibat fatal ketika terjadi Over Dosis yaitu konsumsi narkoba melebihi kemampuan tubuh untuk menerimanya. Over dosis bisa menyebabkan kematian

Cara Mengelompokkan Postingan Dalam Categori / Label

Posted by VidhyFun 00.15, under | 3 comments

Label itu apa ya? Label adalah pengelompokkan postingan dalam kategori. Bisanya jika dalam penulisan kita selalu mengkategorikan postingan kita dalam beberapa kelompok. Misalnya judul pada postingan ini yaitu cara membuat label, kemudian saya kelompokkan dalam beberapa kategori, seperti blogspot tutorial, label, cara membuat label(lihat pada bagian tags).



Cara membuatnya sangat mudah, hanya saja jika sobat jeli dalam setiap penulisan artikel, pada bagian bawah kolom postingan terdapat kotak kecil untuk meletakkan label postingan kita.


Bagaimana cara membuatnya ?

  1. Login ke Blogger

  2. Pada halaman dashboard, klik Tata Letak

  3. Klik Elemen Halaman

  4. Kemudian pilih Tambah Gadget

  5. Cari Label lalu di klik

    image

  6. Lalu akan ada halaman seperti di bawah ini :

    Isi label

  7. Untuk Judul bisa sobat sesuaikan sendiri, setelahnya klik simpan.

  8. Untuk mengisi Label atau Kategori, setiap sobat memposting tulisan sobat, isi kolom kosong dibawah kolom postingan dengan kategori yang sobat inginkan, seperti ini contohnya :

    label

    Nah, ada kolom kosong kan, isi dengan kategori yang sobat inginkan. Jadi tulisan sobat masuk dalam kategori yang sobat tulis tersebut.

  9. Atau bisa juga menggunakan cara berikut, pada halaman edit entri --> contreng salah satu postingan sobat --> klik aksi label --> label baru, lalu isi dengan label yang sobat inginkan.

    image
 Selamat mencoba ! 

Sumber.http://www.fb2020.co.cc

Minggu, 29 Mei 2011

Sistem Pemilu, Putusan MK, dan Suara Terbanyak

Posted by VidhyFun 03.37, under , | No comments

Pembicaraan mengenai tipe wakil, dalam praktek politik, berhubungan erat dengan sistem Pemilu yang dianut oleh suatu negara,50 Bagian ini menganalisis sistem Pemilu yang diterapkan di Indonesia pasca Putusan MK yang membatalkan ketentuan Pasal 214 huruf a, b, c, d, e, f UU No. 10 Tahun 2008. Dengan demikian, analisis hanya ditujukan pada sistem Pemilu anggota DPR/ DPRD, tidak termasuk sistem Pemilu anggota DPD. Sistem pemilu yang diatur dalam UU No. 10 Tahun 2008 bagi pemilihan anggota DPR dan DPRD (provinsi,kabupaten/kota) adalah sistem proporsional terbuka. Istilah “terbuka” juga terkait dengan sistem daftar (list system) berupa Daftar Calon Tetap Anggota DPR/ DPRD.
Dalam model-model sistem proporsional dengan list system, terdapat tiga model yang menentukan keterpilihan Caleg yaitu sistem daftar tertutup (closedlist system), sistem daftar terbuka (open-list system), dan sistem daftar semiterbuka (partly open-list system).53 terbuka ini identik dengan sistem open proportional system, di mana pemilih mengetahui calon-calon anggota legislatif di daerah pemilihannya. Dalam sistem daftar tertutup, pemilih hanya dapat
memilih daftar sebagai satu kesatuan, dan tidak dapat menunjukkan preferensinya kepada calon legislatif tertentu yang ada di dalam daftar. Dalam sistem daftar terbuka, pemilih menjatuhkan pilihannya kepada calon tertentu dalam daftar (misalnya di Finlandia). Sementara itu, dalam sistem daftar semiterbuka, walaupun pemilih dapat menunjukkan preferensi terhadap calon
tertentu, namun nomor urut yang disajikan oleh Parpol lebih menentukan (misalnya di Belanda dan Belgia).

Dalam UU No. 10 Tahun 2008, sistem daftar yang diterapkan dikombinasikan dengan nomor urut. Bahkan nomor urut menjadi salah satu ukuran keterpilihan seorang calon menjadi anggota legislatif. Hal ini dapat dlihat dari mekanisme keterpilihan calon menjadi anggota DPR/DPRD dalam Pasal 214 huruf a, b,c, d,e UU No. 10 Tahun 2008: sebagai berikut:
Dalam ketentuan tersebut, terdapat 5 mekanisme penetapan calon terpilih, yaitu:
calon terpilih anggota DPR, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota ditetapkan berdasarkan calon yang memperoleh suara sekurangkurangnya 30% (tiga puluh perseratus) dari BPP; dalam hal calon yang memenuhi ketentuan huruf a jumlahnya lebih banyak daripada jumlah kursi yang diperoleh partai politik peserta pemilu, maka kursi diberikan kepada calon yang memiliki nomor urut lebih kecil di antara calon yang memenuhi ketentuan sekurang-kurangnya 30% (tiga puluh perseratus) dari BPP; dalam hal terdapat dua calon atau lebih yang memenuhi ketentuan huruf a dengan perolehan suara yang sama, maka penentuan calon terpilih
diberikan kepada calon yang memiliki nomor urut lebih kecil di antara calon yang memenuhi ketentuan sekurang-kurangnya 30% (tiga puluh perseratus) dari BPP, kecuali bagi calon yang memperoleh suara 100% (seratus perseratus) dari BPP;
dalam hal calon yang memenuhi ketentuan huruf a jumlahnya kurang dari jumlah kursi yang diperoleh partai politik peserta pemilu, maka kursi yang belum terbagi diberikan kepada calon berdasarkan nomor urut; dalam hal tidak ada calon yang memperoleh suara sekurang-kurangnya 30% (tiga puluh perseratus) dari BPP, maka calon terpilih ditetapkan berdasarkan nomor urut;
Pada dasarnya penetapan calon terpilih didasarkan pada pemenuhan BPP (minimal 30 %). Sistem BPP ini memang formula utama dalam system proporsional dalam menentukan jumlah kursi yang didapatkan Parpol dalam Pemilu. Keterpilihan calon terpilih dengan sistem ini, beranjak pada asumsi bahwa seorang wakil rakyat mewakili jumlah pemilih tertentu. Dibandingkan dengan UU Pemilu sebelumnya (UU No. 12 Tahun 2003), presentase BPP seorang calon untuk dapat terpilih berdasarkan UU No.10 Tahun 2008 lebih ringan.58 Namun demikian, UU No.10 Tahun 2008 lebih menerapkan penetapan calon terpilih dengan sistem nomor urut jika syarat 30 % BPP tidak terpenuhi atau ada dua atau lebih calon yang memenuhi 30 % BPP. Dengan sistem nomor urut, nomor urut kecil mendapatkan kesempatan yang lebih dahulu untuk menjadi calon terpilih.
Berdasarkan pemaparan di atas, walaupun secara normatif sistem Pemilu DPR/ DPRD disebut sebagai sistem proporsional terbuka, namun dilihat dari penetapan calon terpilih lebih cenderung mengarah pada sistem proporsional dengan sistem daftar semi-terbuka di mana sistem nomor urut lebih dominan, ketika keterpilihan atas dasar presentase BPP tidak terpenuhi. Alasan pelanggaran hak-hak konstitusional warga negara, beberapa orang Caleg dan seorang pemilih mengajukan pengujian UU No. 10 Tahun 2008 ke Mahkamah Konstitusi. Caleg yang mengajukan Pengujuan UU ini adalah Caleg DPR-RI dari PDIP (Mohammad Soleh), dan Caleg DPR-RI dari Partai Demokrat (Sutjipto, Septi Notariana), dan seorang pemilih (Jose Dima Satria). Permohonan ersebut diajukan dalam dua perkara berbeda. Mohammad Saleh meminta MK membatalkan Pasal 55 ayat (2) mengenai porporsi 30% Caleg perempuan dan Pasal 214 huruf a, b, c, d, e mengenai penetapan calon terpilih.60 Sementara itu, Sutjipto, Septi Notariana, dan Jose Dima Satria memohon kepada MK untuk membatalkan Pasal 205 ayat (4), (5),(6), (7) mengenai pembagian kursi sisa dan Pasal 214 UU No. 10 Tahun 2008.61 Dengan demikian, terdapat 10 ketentuan yang dimintakan diuji kepada MK ( 5 huruf/ bagian dari pasal, dan 5 ayat).
Dalam putusannya, MK hanya mengabulkan permohonan pembatalan Pasal 214 huruf a, b, c, d, dan e, sementara itu permohonan lainnya ditolak.62 Terhadap Pasal 55 ayat (2) UU No. 10 Tahun 2008, MK berpendapat bahwa hal tersebut merupakan bentuk affirmative action/ reverse discrimination/ diskriminasi positif, sehingga tidak bertentangan dengan konstitusi.63 Sementara itu, terhadap Pasal 205 ayat (4), (5), (6), dan (7), MK berpendapat bahwa hal tersebut “…adalah
berkaitan dengan perolehan kursi Parpol dan tidak berhubungan dengan terpilihnya calon… Dengan demikian, dalil tersebut tidak berkenaan dengan konstitusionalitas karena tidak bertentangan dengan Pasal 22E ayat (1) dan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945.”64
Sementara itu, pertimbangan dibatalkannya Pasal 214 huruf a – e, pada intinya karena ketentuan tersebut: bertentangan dengan prinsip kedaulatan rakyat (Pasal 1 ayat (2) Perubahan Ketiga UUD 1945), dengan penekanan “Besarnya suara pilihan rakyat menunjukkan tingginya legitimasi politik yang diperoleh oleh para calon legislatif maupun eksekutif, sebaliknya rendahnya perolehan suara juga menunjukkan rendahnya legitimasi politik calon yang bersangkutan”. bertentangan dengan prinsip keadilan sebagaimana diatur dalam Pasal 28D ayat (1) UUD 1945, dengan argumen utama “…jika ada dua orang calon yang mendapatkan suara yang jauh berbeda secara ekstrem terpaksa calon yang mendapat suara banyak dikalahkan oleh calon yang mendapat suara kecil, karena yang mendapat suara kecil nomor urutnya lebih kecil..”.66 bertentangan dengan prinsip “kesamaan kedudukan hukum dan kesempatan yang sama dalam pemerintahan (equality and opportunity before the law)” (Pasal 27 ayat (1) dan Pasal 28 D ayat (3) UUD 1945), artinya setiap calon anggota legislatif mempunyai kedudukan dan kesempatan yang sama di hadapan hukum, memberlakukan suatu ketentuan hukum yang tidak sama atas dua keadaan yang sama adalah sama tidak adilnya dengan memberlakukan suatu ketentuan hukum yang sama atas dua keadaan yang tidak sama”.
MK menegaskan dalam pertimbangan hukum putusan tersebut bahwa putusan tersebut besifat self executing dan dapat langsung laksanakan oleh KPU berdasarkan Pasal 213 UU No. 10 Tahun 2008.68 Hal tersebut ditegaskan kembali dalam konklusinya. bahwa: “bahwa secara teknis administrative pelaksanaan putusan Mahkamah diyakini tidak akan menimbulkan hambatan yang pelik karena Pihak Terkait Komisi Pemilihan Umum pada Sidang Pleno di Mahkamah Konstitusi tanggal 12 November 2008 menyatakan siap melaksanakan putusan Mahkamah jika memang harus menetapkan anggota legislatif berdasarkan suara terbanyak”. Selanjutnya, dalam amar putusannya, MK membatalkan ketentuan Pasal 214 tersebut.
Dari putusan tersebut, MK secara tidak langsung mengubah mekanisme penetapan calon terpilih yang sebelumnya menggunakan BPP dan nomor urut menjadi suara terbanyak. Padahal, ketika MK menyatakan dalam amar putusannya bahwa suatu ketentuan bertentangan dengan UUD 1945 sehingga tidak memiliki kekuatan hukum mengikat, maka terjadi “kekosangan peraturan
perundang-undangan” (wet vacuum). MK mengatakan bahwa putusan tersebut tidak terjadi kekosongan hukum, dengan dalih suara terbanyak, dan KPU dapat langsung melaksanakan tanpa pembentukan Perpu atau perubahan UU. Alasan ersebut hanya dapat diterima jika terdapat “norma baru”, yaitu mekanisme suara terbanyak. Padahal dalam Putusan MK sebelumnya, dikatakan bahwa: “Bahwa dalam menjatuhkan amar putusan, meskipun Mahkamah berwenang
menyatakan suatu norma hukum yang tercantum dalam suatu Undang- Undang inkonstitusional atau bertentangan dengan UUD 1945 dankarenanya tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat [vide Pasal 57 ayat (1) UU MK], namun Mahkamah tidak berwenang untuk membuat
rumusan baru suatu norma Undang-Undang.”71 Mekanisme “suara terbanyak” memang tidak ditegaskan dalam amar putusan MK namun ditegaskan dalam pertimbangan hukum yang mendasari putusan. Dengan demikian, hal tersebut tidak dianggap membentuk “norma baru”. Namun demikian, substansinya MK tetap menganggap bahwa suara terbanyak menggantikan mekanisme penetapan calon terpilih dengan BPP dan nomor urut.
Terhadap putusan tersebut, terdapat beberapa pendapat yang berbeda. Selain, Hakim Mahkamah Konstitusi Maria Farida yang dalam dissenting opinionnya menganggap bahwa putusan tersebut inkonsisten dengan pendapat MK bahwa ketentuan mengenai affirmative action terhadap caleg perempuan tidak bertentangan dengan UUD 1945, ada pula pendapat yang menganggap bahwa MK sudah memasuki ranah legislasi dan memungkikan terjadi sengketa antar Caleg. Seperti dikatakan oleh Mohammad Fajrul Falaakh bahwa List-PR system yang (mulai) dibuka memang memicu pertentangan antarcaleg dalam parpol dan rekonsiliasinya di ranah legislasi, serta desain sistem pemilu memang bukan wewenang MK. Fajrul juga mengatakan bahwa “Caleg atau parpolkah yang akhirnya memperoleh kursi? Mana formula untuk mengonversi suara, kepada parpol maupun kepada caleg, menjadi kursi? Memenangkan caleg dengan 100 persen BPP dan threshold 30 persen BPP, kembali ke UU Pemilu 2003, atau berdasarkan nomor urut belaka?”. Secara implisit pendapat terakhir
menegaskan bahwa putusan tersebut tidak self-executing,namun diperlukan pengaturan lebih lanjut. Putusan ini juga seperti sapu jagat karena menghapus semua kriteria penetapan calon terpilih, termasuk ketentuan mengenai keterpilihan berdasarkan BPP. Padahal, MK dapat saja memutuskan tidak membatalkan ketentuan mengenai 30% BPP dan hanya membatalkan ketentuan yang menyangkut keterpilihan calon berdasarkan nomor urut, sehingga suara terbanyak dapat diterapkan jika tidak ada calon yang memenuhi 30% BPP.
Terlepas dari kontroversi putusan MK tersebut, dapat dipastikan bahwa mekanisme suara terbanyak menggeser sistem pemilu yang diatur dalam UU No. 10 Tahun 2008. Sistem Pemulu DPR/DPRD tetap merupakan system proporsional, namun menjadi sepenuhnya terbuka (open-list system). Sistem suara terbanyak biasanya dipakai dalam sistem pemilu distrik dengan prinsip majority atau plurality. Sehingga dapat dikatakan bahwa sistem pemilu pasca
putusan MK, juga memiliki aspek sistem distrik.

PERKAWINAN BEDA AGAMA DI INDONESIA

Posted by VidhyFun 00.10, under | No comments

A. Pendahuluan

Perkawinan merupakan salah satu dimensi kehidupan yang sangat penting dalam kehidupan manusia di dunia manapun. Begitu pentingnya perkawinan tidak mengherankan jika agama-agama di dunia mengatur masalah perkawinan bahkan tradisi atau adat masyarakat dan juga institusi negara tidak ketinggalan mengatur perkawinan yang berlaku di kalangan masyarakatnya.
Sudah menjadi kenyataan umum bahwa pengaturan masalah perkawinan di dunia tidak menunjukkan adanya keseragaman, keberbedaan itu tidak hannya antara satu agama dengan agama yang lain, satu adat masyarakat dengan adat masyarakat yang lain, satu negara dengan negara yang lain, bahkan dalam satu agamapun dapat terjadi perbedaan pengaturan perkawianan disebabkan adanya cara berfikir yang berlainan karena menganut mazhab atau aliran yang berbeda.
Keadaan dan kondisi di suatu daerah misalkan akan turut mempengaruhi pengaturan hukum (perkawinan) di daerah tersebut. Misalnya di negara Indonesia, bangsa yang plural dan heterogen. Indonesia adalah bangsa yang multikultural dan multiagama. Pluralitas di bidang agama terwujud dalam banyaknya agama yang diakui sah di Indonesia, selain Islam ada agama Hindu, Budha, Kristen, Katolik, dan lain-lain. Sensus penduduk tahun 1980 menunjukkan bahwa Islam dipeluk oleh sebagian besar bangsa Indonesia (88,2 % dari 145 juta penduduk), disusul Protestan (5,8 %), Katolik (3%), Hindu (2,1 %), dan Budha (0,9 %). Keragaman pemeluk agama di Indonesia ternyata telah ikut membentuk pola hubungan antar agama di Indonesia dalam berbagai aspek kehidupan sosial kemasyarakatan. Salah satu bentuk pola hubungan tersebut tercermin dalam hukum keluarga di Indonesia khususnya dalam bidang perkawinan sejak diundangkannya Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 tahun 1974 dan disahkannya Kompilasi Hukum Islam di Indonesia melalui Instruksi Presiden Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1991 tanggal 10 Juni 1991. Demikianlah ternyata keadaan di suatu negara telah mempengaruhi bagi terbentuknya suatu hukum/aturan di Negara tersebut. Salah satu fenomena hukum yang menarik untuk dikaji bersama di masa modern dan kontemporer ini adalah persoalan pengaturan hukum keluarga di negara-negara muslim, di Indonesia misalkan terjadi kontroversi yang cukup fenomenal atas sah atau tidaknya pernikahan beda agama dilihat dari sudut pandang perundang-undangan di Indonesia. Dalam hal ini maka mencoba untuk menafsirkan/mencermati salah satu bentuk kontroversi dalam menafsirkan sah atau tidaknya pernikahan beda agama dilihat dari sudut pandang perundang-undangan di Indonesia.

B. Pengaturan Perkawinan Beda Agama Dalam Perundang-Undangan Perkawinan Di Indonesia
Pembahasan dalam bagian ini mencoba menelaah peraturan mengenai perkawinan beda agama dalam peraturan-peraturan produk pemerintah di Indonesia. Terkait dengan hal tersebut maka tulisan ini akan mencoba menelusurinya dalam eraturan Perkawinan Campuran/Regeling op de Gemengde Huwelijken, Staatsblad 1898 Nomor 158 (GHR), Undang-undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974, dan Kompilasi Hukum Islam di Indonesia.
Untuk mengetahui secara lebih mendetail tentang pengaturan perkawinan beda agama di Indonesia, dalam uraian berikut akan dipaparkan peraturan-peraturan yang terkait dengan pengaturan perkawinan beda agama di Indonesia. Dalam Peraturan Perkawinan Campuran/Regeling op de Gemengde Huwelijken, Staatsblad 1898 Nomor 158 (GHR), beberapa ketentuan tentang perkawinan beda agama adalah sebagai berikut:
Pasal 1 :
Pelangsungan perkawinan antara orang-orang, yang di Hindia Belanda tunduk pada hukum yang berbeda, disebut perkawinan campuran.
Pasal 6 ayat (1) :
Perkawinan campuran dilangsungkan menurut hukum yang berlaku atas suaminya, kecuali izin para calon mitrakawin yang selalu disyaratkan.
Pasal 7 ayat (2) :
Perbedaan agama, golongan penduduk atau asal usul tidak dapat merupakan halangan pelangsungan perkawinan.

Beberapa pasal di atas secara tegas mengatur tentang perkawinan beda agama bahkan disebutkan bahwa perbedaan agama tidak dapat dijadikan alasan untuk mencegah terjadinya perkawinan.
Dalam Undang-undang No. 1 Tahun 1974 pasal yang dijadikan sebagai landasan perkawinan beda agama adalah pasal 2 ayat (1), pasal 8 huruf f dan pasal 57. Pasal 2 ayat (1) berbunyi :
Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu.

Sedangkan pasal 8 huruf f berbunyi:
Perkawinan dilarang antara dua orang yang:

f. mempunyai hubungan yang oleh agamanya atau peraturan lain yang berlaku, dilarang kawin.

Pasal 57 UU No. 1 Tahun 1974 berbunyi :
Yang dimaksud dengan perkawinan campuran dalam Undang-undang ini ialah perkawinan antara dua orang yang di Indonesia tunduk pada hukum yang berlainan, karena perbedaan kewarganegaraan dan salah satu pihak berkewarganegaraan Asing dan salah satu pihak berkewarganegaraan Indonesia”.

Terhadap ketiga pasal di atas muncul beberapa penafsiran yang berbeda yang mengakibatkan terjadinya perbedaan pemahaman tentang perkawinan beda agama di Indonesia sebagaimana akan dijelaskan pada uraian di bawah.
Kompilasi Hukum Islam pasal 40 huruf c dan pasal 44 secara eksplisit mengatur tentang larangan perkawinan antara laki-laki muslim dengan wanita non-muslim dan wanita muslim dengan laki-laki non-muslim. Pasal 40 huruf c Kompilasi Hukum Islam menyatakan sebagai berikut:
Dilarang melangsungkan perkawinan antara seorang pria dengan seorang wanita karena keadaan tertentu;
a. Karena wanita yang bersangkutan masih terikat satu perkawinan dengan pria lain;
b. Seorang wanita yang masih berada dalam masa iddah dengan pria lain;
c. Seorang wanita yang tidak beragama Islam.

Pasal 40 huruf c di atas secara eksplisit melarang terjadinya perkawinan antara laki-laki (muslim) dengan wanita non-muslim (baik Ahl al-Kitab maupun non Ahl al-Kitab). Jadi pasal ini memberikan penjelasan bahwa wanita non-muslim apapun agama yang dianutnya tidak boleh dinikahi oleh laki-laki yang beragama Islam. Sedangkan pasal 44 menyatakan sebagai berikut:

Seorang wanita Islam dilarang melangsungkan perkawinan dengan seorang pria yang tidak beragama Islam.

Pasal ini secara tegas melarang terjadinya perkawinan antara wanita muslim dengan pria non-muslim baik termasuk kategori Ahl al-Kitab maupun tidak termasuk kategori Ahl al-Kitab.

Terakhir pasal 60 Kompilasi Hukum Islam menyatakan sebagai berikut:
1. Pencegahan perkawinan bertujuan untuk menghindari suatu perkawinan yang dilarang hukum Islam dan Peraturan Perundang-Undangan.
2. Pencegahan perkawinan dapat dilakukan bila calon suami atau calon isteri yang akan melangsungkan perkawinan tidak memenuhi syarat-syarat untuk melangsungkan perkawinan menurut hukum Islam dan Peraturan Perundangundangan.

Pasal ini secara tegas memberikan penjelasan tentang pencegahan perkawinan terhadap calon mempelai yang tidak memenuhi syarat yang ditetapkan oleh hukum Islam maupun peraturan perundang-undangan. Pasal ini menguatkan pelarangan perkawinan beda agama.

C. Beberapa Pandangan Atas Perkawinan Beda Agama Di Indonesia
Pembahasan dalam bab ini akan difokuskan pada penelaahan terhadap pandangan-pandangan tentang perkawinan beda agama di Indonesia dikaitkan dengan peraturan mengenai perkawinan beda agama dalam peraturan-peraturan yang mengatur tentang perkawinan di Indonesia. Terkait dengan hal tersebut maka tulisan ini akan mencoba menelusuri pandangan-pandangan tersebut dan mengkaitkannya dengan peraturan perkawinan beda agama yaitu dalam Peraturan Perkawinan Campuran/Regeling op de Gemengde Huwelijken, Staatsblad 1898 Nomor 158 (GHR), Undang-undang Perkawinan No. 1 Tahun 1974, dan Kompilasi Hukum Islam di Indonesia.
Para pakar hukum berbeda pendapat tentang perkawinan beda agama dalam Undang-undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 hal ini disebabkan karena undangundang tersebut tidak menyebut secara tertulis/tekstual/eksplisit (expressis verbis) mengenai perkawinan beda agama. Pada garis besarnya ada tiga pandangan tentang perkawinan beda agama di Indonesia terkait dengan pemahaman terhadap Undangundang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, yaitu :

a. Perkawinan beda agama tidak dibenarkan dan merupakan pelanggaran terhadap undang-undang perkawinan berdasarkan pada Pasal 2 ayat (1) dan pasal 8 huruf (f) yang dengan tegas menyebutkan hal itu. Oleh karena itu perkawinan beda agama adalah tidak sah dan batal demi hukum.
b. Perkawinan beda agama adalah diperbolehkan dan sah dan oleh sebab itu dapat dilangsungkan, sebab perkawinan tersebut termasuk dalam perkawinan campuran. Menurut pendapat ini titik tekan Pasal 57 tentang perkawinan campuran terletak pada “dua orang yang di Indonesia tunduk pada hukum yang berlainan”. Oleh karena itu pasal tersebut tidak saja mengatur perkawinan antara dua orang yang memiliki kewarganegaraan yang berbeda tetapi juga mengatur perkawinan antara dua orang yang berbeda agama. Menurut pendapat ini pelaksanaan perkawinan beda agama dilakukan menurut tata cara yang diatur oleh Pasal 6 Peraturan Perkawinan Campuran.
c. Undang-undang perkawinan tidak mengatur tentang masalah perkawinan beda agama. Oleh karena itu dengan merujuk Pasal 66 Undang-undang Perkawinan maka peraturan-peraturan lama selama Undang-undang Perkawinan belum mengaturnya dapat diberlakukan. Dengan demikian maka masalah perkawinan beda agama harus berpedoman kepada peraturan perkawinan campuran.

Sehubungan dengan pandangan kelompok ketiga ini menarik untuk dicatat bahwa Ketua Mahkamah Agung Republik Indonesia dalam suratnya No. KMA/72/IV/1981 tanggal 20 April 1981 yang ditujukan kepada Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri secara tegas menyatakan:
1) Merupakan suatu kenyataan yang hidup di dalam masyarakat Indonesia yang serba majemuk ini yang terdiri dari berbagai macam golongan suku, adalah pemeluk agama dan penganut Kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa yang berbeda satu dengan lainnya.
2) Adalah suatu kenyataan pula bahwa antar mereka itu, ada yang menjalin suatu hubungan dalam memebnetuk suatu keluarga yang bahagia dan kekal melalui proses perkawinan, di mana Undang-undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan belum mengatur perihal perkawinan campuran.
3) Meskipun demikian dapat dicatat bahwa Pasal 66 Undang-undang Perkawinan memungkinkan S.1898 No. 158 diberlakukan untuk mereka sepanjang Undang-undang Perkawinan belum mengatur hal-hal yang berhubungan dengan perkawinan campuran dimaksud.

Di samping ketiga pendapat di atas ada pula yang berpandangan bahwa Undangundang Perkawinan perlu disempurnakan sebab ada kekosongan hukum tentang perkawinan beda agama. Pentingnya penyempurnaan Undang-undang tersebut disebabkan karena beberapa hal yaitu, pertama, Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tidak mengatur perkawinan beda agama, kedua, masyarakat Indonesia adalah masyarakat plural yang menyebabkan perkawinan beda agama tidak dapat dihindarkan, ketiga, persoalan agama adalah menyangkut hak asasi seseorang, dan keempat, kekosongan hukum dalam bidang perkawinan tidak dapat dibiarkan begitu saja sebab akan dapat mendorong terjadinya perzinaan terselubung melalui pintu kumpul kebo/samen leven.
Mayoritas kelompok muslim di Indonesia berpandangan bahwa Undang-undang perkawinan tidak perlu disempurnakan dengan mencantumkan hukum perkawinan beda agama dalam Undang-undang tersebut sebab mereka berpendapat bahwa Undangundang Nomor 1 Tahun 1974 telah mengatur hukum perkawinan beda agama dengan tegas dan jelas.
Mencermati pendapat-pendapat di atas penulis memiliki pendapat yang berbeda yaitu bahwa Undang-undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 menurut penyusun -sejalan dengan pendapat M. Idris Ramulyo dan Watik Pratiknya-memang tidak secara eksplisit mengatur perkawinan antara laki-laki muslim dengan wanita nonmuslim ataupun antara wanita muslim dengan laki-laki non-muslim, namun Undangundang tersebut secara tegas menyerahkan sah atau tidaknya perkawinan kepada agama dan kepercayaan yang dianut oleh para pihak yang akan melangsungkan perkawinan. Kesimpulan ini didasarkan pada pengamatan terhadap bunyi pasal 2 ayat (1) dan pasal 8 huruf f Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974. Pasal 2 ayat (1) berbunyi:
Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu.

Sedangkan pasal 8 huruf f berbunyi:

Perkawinan dilarang antara dua orang yang:

g. mempunyai hubungan yang oleh agamanya atau peraturan lain yang berlaku, dilarang kawin.

Dari bunyi pasal-pasal di atas dapat disimpulkan bahwa mengenai sah atau tidaknya sebuah perkawinan diserahkan kepada aturan yang terdapat dalam agama atau kepercayaan yang dianut oleh para pihak yang akan melangsungkan perkawinan. Sedangkan salah satu sebab dilarangnya perkawinan adalah adanya hubungan antara dua orang yang menurut agama dilarang kawin. Dengan demikian maka undang-undang ini tidak mengatur tentang perkawinan antara laki-laki muslim dengan wanita nonmuslim dan secara tegas menyerahkan sah atau tidaknya perkawinan tersebut kepada aturan yang terdapat dalam agama atau kepercayaan yang dianut.
Kompilasi Hukum Islam pasal 40 huruf c dan pasal 44 secara eksplisit mengatur tentang larangan perkawinan antara laki-laki muslim dengan wanita non-muslim dan wanita muslim dengan laki-laki non-muslim. Pasal 40 huruf c Kompilasi Hukum Islam menyatakan sebagai berikut:

Dilarang melangsungkan perkawinan antara seorang pria dengan seorang wanita karena keadaan tertentu;
d. karena wanita yang bersangkutan masih terikat satu perkawinan dengan pria lain;
e. seorang wanita yang masih berada dalam masa iddah dengan pria lain;
f. seorang wanita yang tidak beragama Islam.


Pasal 40 huruf c di atas secara eksplisit melarang terjadinya perkawinan antara laki-laki (muslim) dengan wanita non-muslim (baik Ahl al-Kitab maupun non Ahl al-Kitab). Jadi pasal ini memberikan penjelasan bahwa wanita non-muslim apapun agama yang dianutnya tidak boleh dinikahi oleh laki-laki yang beragama Islam. Sedangkan pasal 44 menyatakan sebagai berikut:

Seorang wanita Islam dilarang melangsungkan perkawinan dengan seorang pria yang tidak beragama Islam.

Pasal ini secara tegas melarang terjadinya perkawinan antara wanita muslim dengan
pria non-muslim baik termasuk kategori Ahl al-Kitab maupun tidak termasuk kategori Ahl al-Kitab.
Terakhir pasal 60 Kompilasi Hukum Islam menyatakan sebagai berikut:
(3) Pencegahan perkawinan bertujuan untuk menghindari suatu perkawinan yang dilarang hukum Islam dan Peraturan Perundang-Undangan.
(4) Pencegahan perkawinan dapat dilakukan bila calon suami atau calon isteri yang akan melangsungkan perkawinan tidak memenuhi syarat-syarat untuk melangsungkan perkawinan menurut hukum Islam dan Peraturan Perundangundangan.
Pasal ini secara tegas memberikan penjelasan tentang pencegahan perkawinan terhadap calon mempelai yang tidak memenuhi syarat yang ditetapkan oleh hukum Islam maupun peraturan perundang-undangan. Pasal ini menguatkan pelarangan perkawinan beda agama.
Pengesahan Kompilasi Hukum Islam dengan menggunakan Instruksi Presiden Instruksi No.1 Tahun 1991 dan tidak mengggunakan undang-undang memunculkan dua pandangan yang berbeda mengenai kekuatan hukum Kompilasi Hukum Islam, di kalangan Ahli Hukum ada yang mengatakan bahwa Kompilasi Hukum Islam berkekuatan mengikat (imperatif) dan ada yang mengatakan tidak mengikat (fakultatif).
Argumen yang diajukan kelompok pertama yang menyatakan bahwa Kompilasi Hukum Islam berkekuatan mengikat (imperatif) adalah bahwa meskipun Inpres tidak termasuk dalam tata urutan peraturan perundang-undangan yang ditetapkan dalam TAP MPRS No. XX/MPRS/1966 juncto TAP MPR No. V/MPR/1973 namun Instruksi Presiden mempunyai kedudukan yang sama dengan Keputusan Presiden, dan keduanya mempunyai posisi yang sama dengan Undang-Undang. Oleh karena itu Kompilasi Hukum Islam mempunyai kekuatan mengikat secara imperatif.
Argumen lain yang diajukan adalah bahwa dalam konsideran Instruksi Presiden No.1 Tahun 1991 dinyatakan sebagai berikut:
a. Bahwa Alim Ulama Indonesia dalam lokakarya yang diadakan di Jakarta pada tanggal 2 sampai dengan 5 Februari 1988 telah menerima baik tiga rancangan buku Kompilasi Hukum Islam, yaitu Buku I tentang Hukum Perkawinan, Buku II tentang Hukum Kewarisan, dan Buku III tentang Hukum Perwakafan.
b. bahwa Kompilasi Hukum Islam tersebut dalam huruf a oleh Instansi Pemerintah dan oleh masyarakat yang memerlukannya dapat dipergunakan sebagai pedoman dalam menyelesaikan masalah-masalah di bidang tersebut.
c. bahwa oleh karena itu Kompilasi Hukum Islam tersebut dalam huruf a perlu disebarluaskan.
kata sebagaim pedoman dalam konsideran di atas menurut Abdurrahman sebagaimana dikutip oleh A. Rafiq- harus dipahami sebagai tuntutan atau petunjuk yang harus dipakai baik oleh Pengadilan Agama maupun warga masyarakat dalam menyelesaikan sengketa mereka dalam bidang hukum perkawinan, kewarisan dan perwakafan.
Adapun argumen yang diajukan oleh kelompok kedua yang menyatakan bahwa Kompilasi Hukum Islam tidak mengikat (fakultatif) adalah bahwa Inpres tidak termasuk dalam tata urutan peraturan perundang-undangan yang ditetapkan dalam TAP MPRS No. XX/MPRS/1966 juncto TAP MPR No. V/MPR/1973, dengan demikian maka Kompilasi Hukum Islam tergolong hukum yang tidak tertulis sebab Inpres tidak termasuk dalam rangkaian tata urutan perundang-undangan yang berlaku secara positif di Indonesia.
Argumen lain yang diajukan adalah bahwa dalam konsideran point b Instruksi Presiden No.1 Tahun 1991 dinyatakan:

bahwa Kompilasi Hukum Islam tersebut dalam huruf a oleh Instansi Pemerintah dan oleh masyarakat yang memerlukannya dapat dipergunakan sebagai pedoman dalam menyelesaikan masalah-masalah di bidang tersebut.
Kata-kata dapat dipergunakan sebagai pedoman menunjukkan bahwa kompilasi Hukum Islam tidak mengikat secara imperatif. Oleh karena itu para pihak dapat menjalankannnya dan dapat pula meninggalkannya, sesuai dengan kebutuhan dan keperluannya. Dengan demikian maka pedoman di sini memiliki pengertian bersifat fakultatif. Oleh karenanya dalam praktek, orang yang mengeyampingkan Kompilasi Hukum Islam tidak dapat dipersalahkan telah melanggar hukum.

D. Perkawinan Antara Muslim Dengan Non Muslim Dalam Wacana Agama
Dalam konsep konvensional maupun kontemporer (modernis) perkawinan wanita muslimah dengan laki-laki non muslim telah disepakati keharamannya. Adapun pernikahan antara laki-laki muslim dengan wanita non muslimah masih terdapat perbedaan di kalangan Ulama. Sebagian ketentuan tentang perkawinan antara laki-laki muslim dengan wanita non muslim diuraikan sebagai berikut:
1. Hukum nikah laki-laki muslim dengan wanita bukan ahli Kitab.
Mazhab Syafi’i –sebagaimana ditulis oleh Dr. Wahbah az-Zuhailiberpendapat bahwa pernikahan antara laki-laki muslim dengan wanita kafir selain ahli kitab seperti watsani, majusi, penyembah matahari atau bulan, murtad adalah tidak sah (batal) berdasarkan firman Allah surat al-Baqarah ayat 221. As-Syirazi dalam al-Muhazzab menegaskan bahwa laki-laki muslim haram menikah dengan orang perempuan yang bukan ahli kitab yaitu orang-orang kafir seperti penyembah berhala dan orang murtad berdasarkan firman Allah dalam surat al-Baqarah ayat 221. Sedangkan al-Malibari menyebutkan bahwa syarat wanita yang dapat dinikah adalah wanita muslimah atau kitabiyyah Khalishah.
Al-Jazairi menyebutkan bahwa berdasarkan surat al-Baqarah ayat 221 maka laki-laki muslim tidak boleh menikah dengan wanita musyrik apapun bentuk kemusyrikannya kecuali kalau ia masuk Islam. Ketentuan ayat di atas ditakhsis oleh surat al-Maidah ayat 5 yang menunjukkan bahwa wanita ahl al-Kitab boleh dinikahi, walaupun mereka mengatakan bahwa al-Masih adalah Tuhan. Wahbah az-Zuhaili menyebutkan bahwa tidak halal bagi laki-laki muslim menikahi wanita musyrikah atau wtsaniyyah yaitu wanita yang menyekutukan Allah dengan yang lainnya. Ulama Hanafiyyah dan Syafi’iyyah dan selain mereka menyamakan orang murtad dengan musyrik. Kesimpulannya adalah telah terjadi kesepakatan tentang tidak halalnya menikahi wanita yang tidak memiliki kitab seperti watsaniyyah dan Majusiyyah.
Ibnu Rusyd -dalam fasal tentang penghalang menikah sebab kafirmenyatakan bahwa para Ulama sepakat bahwa laki-laki muslim tidak boleh menikahi wanita watsaniyyah. Sejalan dengan Ibn Rusyd, Hasbi ash-Shiddieqi menyebutkan bahwa hukum tentang tidak bolehnya menikahi wanita watsaniyah (penyembah berhala) telah disepakati oleh Imam Mazhab.
2. Hukum nikah laki-laki muslim dengan wanita ahli Kitab
Bolehnya pernikahan laki-laki muslim dengan wanita ahli Kitab telah disepakati oleh semua Imam Mazhab. Ibnu Rusyd menyatakan bahwa para Ulama telah sepakat tentang bolehnya laki-laki muslim menikahi wanita kitabiyyah yang merdeka. As-Syirazi dalam al-Muhazzab menyebutkan bahwa laki-laki muslim boleh menikahi wanita merdeka ahl Kitab yaitu Yahudi dan Nasrani dan orang yang masuk agama mereka sebelum adanya tabdil/penggantian. Sedangkan al-Malibari menyebutkan bahwa kemusliman dan keahlikitaban adalah syarat bagi wanita yang dapat dinikahi oleh laki-laki muslim. Al-Jazairi menyebutkan bahwa wanita ahli kitab yang boleh dinikahi tidak disyaratkan kedua orang tuanya harus ahli kitab, berbeda menurut as-Syafi’iyyah dan Hanabilah yang mensyaratkan kedua orangtuanya harus ahli kitab.
Wahbah az-Zuhaili menyebutkan bahwa Ulama telah sepakat terhadap bolehnya menikahi wanita kitabiyyah yaitu wanita yang meyakini agama samawi seperti Yahudi dan Nasrani. Sedang yang dimaksud dengan ahli kitab adalah ahlu at- Taurah dan Injil. Mengenai halalnya menikahi wanita kitabiyyah tidak ada syarat apapun menurut Jumhur sedangkan menurut Ulama Syafi’iyyah halalnya menikahi Israiliyyah dengan syarat awal moyangnya masuk agama Yahudi sebelum dinasah dan adanya perubahan, apabila terjadi keraguan tentang hal tersebut, menikahi israiliyyah juga tidak halal. Sedangkan halalnya menikahi wanita nashraniyyah dengan syarat awal moyangnya masuk agama tersebut sebelum dinasah dan sebelum terjadinya tahrif/pengrubahan. Menurut Wahbah pendapat jumhur yang tidak mensyaratkan apapun bagi kebolehan menikahi wanita kitabiyyah adalah lebih rajih disbanding pendapat As-Syafi’iyyah.
Dalam pandangan muslim modernis yang dalam tulisan ini merujuk kepada pemikiran Muhammad Abduh dan Muhammad Rasyid Ridha. Mengenai perkawinan lakilaki muslim dengan wanita musyrikah menurut Muhammad Abduh sebagaimana dinukilkan oleh Rasyid Ridha adalah diperbolehkan selain wanita musyrikah Arab, hal ini dilatar belakangi oleh penafsirannya terhadap kata Musyrikah dalam surat al-Baqarah ayat 221, ia secara tegas menyatakan bahwa perempuan yang haram dikawini oleh laki-laki Muslim dalam surat al-Baqarah ayat 221 adalah perempuan-perempuan Musyrikah Arab. Jadi menurut pendapat ini seorang Muslim boleh menikah dengan wanita musyrikah dari bangsa non-Arab seperti Cina, India dan Jepang (sebab masuk dalam kategori ahli kitab).
Sedangkan pernikahan laki-laki muslim dengan wanita kitabiyyah adalah diperbolehkan, hal ini didasarkan pada ayat 5 surat al-Maidah:

اليوم أ حل ل كم الطيبات وطمام ال ذين أوتوا الكتاب حل ل كم و طعام كم حل ل هم و
المحصنات من المؤمنات و المحصنات من الذين أوتوا الكتاب من قبلكم.

Artinya: “Pada hari ini dihalalkan bagimu yang baik-baik, Makanan(sembelihan) orangorang yang diberi al-Kitab itu halal bagimu, dan makanan kamu halal pula bagi mereka (dan dihalalkan mengawini) wanita-wanita yang menjaga kehormatan di antara wanita-wanita yang beriman dan wanita-wanita yang menjaga kehormatan di antara orang-orang yang diberi al-Kitab sebelum kamu.”
Menurut Abduh ahl al-Kitab mencakup penganut agama Yahudi, Nasrani, dan Shabiun. Muhammad Rasyid Ridha berpendapat bahwa ahl al-Kitab mencakup Yahudi, Nasrani, Majusi, Shabi’un, Hindu, Budha, Kong Fu Tse (Kong Hucu) dan Shinto. Dalam menetapkan keahlikitaban satu ummat, Ridha menggunakan kriteria memiliki kitab suci dan atau mengikuti nabi yang dikenal, baik dalam tradisi agama Ibrahim maupun bukan.
Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa muslim modernis memandang bahwa diperbolehkan terjadinya pernikahan antara laki-laki muslim dengan wanita non muslim yang masuk dalam cakupan makna ahl al-Kitab dan wanita itu tidak termasuk musyrikah Arab. Dengan demikian menurut pandangan ini maka laki-laki muslim Indonesia boleh menikah dengan wanita non muslim yang beragama Yahudi, Nasrani/Kristen, Hindu, Budha, Kong Hucu, Shinto, Majusi dan Shabi’un.

E. Kesimpulan
Dari uraian-uraian di atas dapat disimpulkan bahwa bagi kelompok yang yang meyakini bahwa Kompilasi Hukum Islam pasal 40 huruf c yang secara eksplisit melarang terjadinya perkawinan antara laki-laki (muslim) dengan wanita non muslim (baik Ahl al-Kitab maupun non Ahl al-Kitab) adalah bersifat imperatif maka pernikahan beda agama di Indonesia tidah sah menurut peraturan perundang-undangan di Indonesia dan batal demi hukum. Sedangkan bagi kelompok yang meyakini bahwa Kompilasi Hukum Islam pasal 40 huruf c yang secara eksplisit melarang terjadinya perkawinan antara laki-laki (muslim) dengan wanita non muslimah (baik Ahl al-Kitab maupun non Ahl al-Kitab)adalah bersifat fakultatif maka sah atau tidaknya perkawinan beda agama menurut peraturan perundangundangan di Indonesia diserahkan sepenuhnya pada peraturan yang ada pada agama (Islam) tinggal apakah memakai pandangan muslim konvensional ataukah pandangan muslim modernis.

Jumat, 27 Mei 2011

Dasar Pertimbangsan Hakim Dalam Menjatuhkan Putusan Pidana Terhadap Pelaku Penyalahgynaan Narkotika

Posted by VidhyFun 23.51, under , | No comments

A. Latar Belakang Masalah
Perkembangan pembangunan dan teknologi ternyata telah membawa kemajuan bagi peradaban manusia dan pembangunan akan terus di lakukan untuk mewujudkan kemakmuran bagi masyarakat. Perkembangan pembangunan dan teknologi yang begitu pesat, ternyata terdapat beberapa celah yang membawa dampak negatif bagi kehidupamn manusia. Sebagai mana diketahui bahwa sering kali tindak kejahatan dilakukan dengan cara-cara yang canggih sehingga hal ini merupakan dampak negative bagi perkembangan teknologi.
Perubahan-perubahan lingkungan masyarakat dan dunia luar, ternyata telah membentuk sedemikian rupa pada prilaku manusia untuk selalu mengikuti perkembangan yang terjadi. Tidak dapat dipungkiri bahwa manusia yang mampu mengikuti perubahan yang terjadi di lingkungan akan mampu mengantisipasi kecenderungan yang bersifat negatif.
Sebagaimana diketahui bahwa perubahan yang terjadi di negara lain akan cenderung membawa perubahan bagi bangsa Indonesia. Kondisi ini merupakan suatu kondisi yang bersifat global atau orang menyebutnya era globalisasi. Dalam era globalisasi setiap perubahan bukan secara keseluruhan membawa pengaruh positif bagi bangsa Indonesia karena perubahan yang terjadi, pasti ada dua hal yang saling bertentanga yaitu perubahan yang mengarah perbaikan dan perubahan yang cenderung berakibat buruk bagi masyarakat dan pemerintah Indonesia, bahwa mau tidak mau pemerintah Indonesia harus menerima kondisi yang bersifat global, dimana perubahan budaya (culture), perdagangan maupun lainya, tidak dapat diabaikan begitu saja agar hal-hal yang bersifat negatif dapat diantisipasi.
Seperti yang telah diketahui masalah narkotika bukanlah masalah yang sederhana dan mudah untuk diberantas karena jaringan pengedar maupun pemakai obat-obat terlarang sudah diorganisasi secara baik dan rapi. Jaringan peredaran narkotika ternyata bukan hanya terbentuk secara local akan tetapi sudah merupakan jaringan internasional. Namun demikian masalah pemberantasan narkotika perlu mendapatka perhatian yang serius karena dampak yang ditimbulkan sangat besar bahkan dapat mengancam Negara.
Kebijakan-kebijakan yang strategis perlu dilakukan oleh pemerintah agar perdagangan barang terlarang maupun pemakai barang terlarang seperti narkotika dan sejenisnya dapat dicegah, sehingga dampak negatif yang sangat besar bagi terciptanya Negara Kesatuan Indonesia dapat teratasi. Oleh karena itu bagaimanapun juga setiap pelaku tindak pidana narkotika , harus dikenakan hukuman yang berat agar pelaku jera atau tidak mengulang perbuatan menjual dan memakai barang terlarang tersebut. Kebijakan yang diambil oleh pemerintah dalam mengatasi maraknya peredaran narkotika serta penyalahgunaan narkotika dan menghukum secara tegas terhadap pengedar maupun penyalahgunaan narkotika adalah dengan diundangkanya Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1997 tentang Narkotika.
Pemberantasan dan pemberian hukuman yang berat terhadap pengedar merupakan salah satu alternatif yang baik dalam menanggulangi maraknya peredaran barang-barang terlarang (narkotika). Pemberian sanksi yang berat ini dimaksudkan agar pengedar itu benar-benar jera, bahkan kalau perlu dilakukan hukuman mati agar para pengedar yang belum tertangkap akan jera untuk melakukan tindak pidana narkotika. Pemberian sanksi yang berat sebenarnya bukan hanya diberikan kepada pengedar saja akan tetapi juga diterapkan bagi para pengguna. Hal ini dikarenakan pemakai obat-obat terlarang pada akhirnya, juga akan bertindak sebagai pengedar karena secara umum mereka telah mengetahui jaringan peredaran barang-barang terlarang. Dengan adanya pemberantasan yang dimulai dari pemakai, sebenarnya dapat diperoleh dua pekerjaan sekaligus karena apabila pemakai sudah dapat dihukum tentunya peredaran akan berkurang walaupun mereka (pengedar obat-obat terlarang) akan mencari sasaran baru untuk menjual barang-barang yang nereka miliki.
Dalam hal ini berhubungan dengan putusan pidana terhadap pelaku penyalahgunaan narkotika tersebut maka peranan Hakim inilah yang akan mempertimbangkan suatu putusan pidana, bagaimana dan seperti apa jenis putusan yang akan diberikan pada pelaku tindak pidana narkotika tersebut tentunya dengan melihat kebijakan-kebijakan pemerintah dan berdasarkan Undang Undang Nomor 22 Tahun 1997 tentang nerkotika.

Berdasarkan hal tersebut diatas, maka penulis terdorong untuk mengadakanpenelitian guna penyusunan skripsi dengan judul “PERTIMBANGAN HAKIM DALAM MENJATUHKAN PUTUSAN PIDANA TERHADAP PELAKU PENYALAHGUNAAN NARKOTIKA”.

B. Rumusan Masalah
Bertitik tolak dari latar belakang masalah yang telah diuraikan diatas, maka rumusan masalah yang dapat dikemukakan dalam penelitian ini adalah :
1. Apakah yang menjadi pertimbangan Hakim dalam menjatuhkan putusan pidana terhadap pelaku penyalah gunaan Narkotika ?
2. Apakah sanksi pidana dalam UU Narkotika sudah dipandang efektif ?