Minggu, 29 Mei 2011

Sistem Pemilu, Putusan MK, dan Suara Terbanyak

Posted by VidhyFun 03.37, under , | No comments

Pembicaraan mengenai tipe wakil, dalam praktek politik, berhubungan erat dengan sistem Pemilu yang dianut oleh suatu negara,50 Bagian ini menganalisis sistem Pemilu yang diterapkan di Indonesia pasca Putusan MK yang membatalkan ketentuan Pasal 214 huruf a, b, c, d, e, f UU No. 10 Tahun 2008. Dengan demikian, analisis hanya ditujukan pada sistem Pemilu anggota DPR/ DPRD, tidak termasuk sistem Pemilu anggota DPD. Sistem pemilu yang diatur dalam UU No. 10 Tahun 2008 bagi pemilihan anggota DPR dan DPRD (provinsi,kabupaten/kota) adalah sistem proporsional terbuka. Istilah “terbuka” juga terkait dengan sistem daftar (list system) berupa Daftar Calon Tetap Anggota DPR/ DPRD.
Dalam model-model sistem proporsional dengan list system, terdapat tiga model yang menentukan keterpilihan Caleg yaitu sistem daftar tertutup (closedlist system), sistem daftar terbuka (open-list system), dan sistem daftar semiterbuka (partly open-list system).53 terbuka ini identik dengan sistem open proportional system, di mana pemilih mengetahui calon-calon anggota legislatif di daerah pemilihannya. Dalam sistem daftar tertutup, pemilih hanya dapat
memilih daftar sebagai satu kesatuan, dan tidak dapat menunjukkan preferensinya kepada calon legislatif tertentu yang ada di dalam daftar. Dalam sistem daftar terbuka, pemilih menjatuhkan pilihannya kepada calon tertentu dalam daftar (misalnya di Finlandia). Sementara itu, dalam sistem daftar semiterbuka, walaupun pemilih dapat menunjukkan preferensi terhadap calon
tertentu, namun nomor urut yang disajikan oleh Parpol lebih menentukan (misalnya di Belanda dan Belgia).

Dalam UU No. 10 Tahun 2008, sistem daftar yang diterapkan dikombinasikan dengan nomor urut. Bahkan nomor urut menjadi salah satu ukuran keterpilihan seorang calon menjadi anggota legislatif. Hal ini dapat dlihat dari mekanisme keterpilihan calon menjadi anggota DPR/DPRD dalam Pasal 214 huruf a, b,c, d,e UU No. 10 Tahun 2008: sebagai berikut:
Dalam ketentuan tersebut, terdapat 5 mekanisme penetapan calon terpilih, yaitu:
calon terpilih anggota DPR, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota ditetapkan berdasarkan calon yang memperoleh suara sekurangkurangnya 30% (tiga puluh perseratus) dari BPP; dalam hal calon yang memenuhi ketentuan huruf a jumlahnya lebih banyak daripada jumlah kursi yang diperoleh partai politik peserta pemilu, maka kursi diberikan kepada calon yang memiliki nomor urut lebih kecil di antara calon yang memenuhi ketentuan sekurang-kurangnya 30% (tiga puluh perseratus) dari BPP; dalam hal terdapat dua calon atau lebih yang memenuhi ketentuan huruf a dengan perolehan suara yang sama, maka penentuan calon terpilih
diberikan kepada calon yang memiliki nomor urut lebih kecil di antara calon yang memenuhi ketentuan sekurang-kurangnya 30% (tiga puluh perseratus) dari BPP, kecuali bagi calon yang memperoleh suara 100% (seratus perseratus) dari BPP;
dalam hal calon yang memenuhi ketentuan huruf a jumlahnya kurang dari jumlah kursi yang diperoleh partai politik peserta pemilu, maka kursi yang belum terbagi diberikan kepada calon berdasarkan nomor urut; dalam hal tidak ada calon yang memperoleh suara sekurang-kurangnya 30% (tiga puluh perseratus) dari BPP, maka calon terpilih ditetapkan berdasarkan nomor urut;
Pada dasarnya penetapan calon terpilih didasarkan pada pemenuhan BPP (minimal 30 %). Sistem BPP ini memang formula utama dalam system proporsional dalam menentukan jumlah kursi yang didapatkan Parpol dalam Pemilu. Keterpilihan calon terpilih dengan sistem ini, beranjak pada asumsi bahwa seorang wakil rakyat mewakili jumlah pemilih tertentu. Dibandingkan dengan UU Pemilu sebelumnya (UU No. 12 Tahun 2003), presentase BPP seorang calon untuk dapat terpilih berdasarkan UU No.10 Tahun 2008 lebih ringan.58 Namun demikian, UU No.10 Tahun 2008 lebih menerapkan penetapan calon terpilih dengan sistem nomor urut jika syarat 30 % BPP tidak terpenuhi atau ada dua atau lebih calon yang memenuhi 30 % BPP. Dengan sistem nomor urut, nomor urut kecil mendapatkan kesempatan yang lebih dahulu untuk menjadi calon terpilih.
Berdasarkan pemaparan di atas, walaupun secara normatif sistem Pemilu DPR/ DPRD disebut sebagai sistem proporsional terbuka, namun dilihat dari penetapan calon terpilih lebih cenderung mengarah pada sistem proporsional dengan sistem daftar semi-terbuka di mana sistem nomor urut lebih dominan, ketika keterpilihan atas dasar presentase BPP tidak terpenuhi. Alasan pelanggaran hak-hak konstitusional warga negara, beberapa orang Caleg dan seorang pemilih mengajukan pengujian UU No. 10 Tahun 2008 ke Mahkamah Konstitusi. Caleg yang mengajukan Pengujuan UU ini adalah Caleg DPR-RI dari PDIP (Mohammad Soleh), dan Caleg DPR-RI dari Partai Demokrat (Sutjipto, Septi Notariana), dan seorang pemilih (Jose Dima Satria). Permohonan ersebut diajukan dalam dua perkara berbeda. Mohammad Saleh meminta MK membatalkan Pasal 55 ayat (2) mengenai porporsi 30% Caleg perempuan dan Pasal 214 huruf a, b, c, d, e mengenai penetapan calon terpilih.60 Sementara itu, Sutjipto, Septi Notariana, dan Jose Dima Satria memohon kepada MK untuk membatalkan Pasal 205 ayat (4), (5),(6), (7) mengenai pembagian kursi sisa dan Pasal 214 UU No. 10 Tahun 2008.61 Dengan demikian, terdapat 10 ketentuan yang dimintakan diuji kepada MK ( 5 huruf/ bagian dari pasal, dan 5 ayat).
Dalam putusannya, MK hanya mengabulkan permohonan pembatalan Pasal 214 huruf a, b, c, d, dan e, sementara itu permohonan lainnya ditolak.62 Terhadap Pasal 55 ayat (2) UU No. 10 Tahun 2008, MK berpendapat bahwa hal tersebut merupakan bentuk affirmative action/ reverse discrimination/ diskriminasi positif, sehingga tidak bertentangan dengan konstitusi.63 Sementara itu, terhadap Pasal 205 ayat (4), (5), (6), dan (7), MK berpendapat bahwa hal tersebut “…adalah
berkaitan dengan perolehan kursi Parpol dan tidak berhubungan dengan terpilihnya calon… Dengan demikian, dalil tersebut tidak berkenaan dengan konstitusionalitas karena tidak bertentangan dengan Pasal 22E ayat (1) dan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945.”64
Sementara itu, pertimbangan dibatalkannya Pasal 214 huruf a – e, pada intinya karena ketentuan tersebut: bertentangan dengan prinsip kedaulatan rakyat (Pasal 1 ayat (2) Perubahan Ketiga UUD 1945), dengan penekanan “Besarnya suara pilihan rakyat menunjukkan tingginya legitimasi politik yang diperoleh oleh para calon legislatif maupun eksekutif, sebaliknya rendahnya perolehan suara juga menunjukkan rendahnya legitimasi politik calon yang bersangkutan”. bertentangan dengan prinsip keadilan sebagaimana diatur dalam Pasal 28D ayat (1) UUD 1945, dengan argumen utama “…jika ada dua orang calon yang mendapatkan suara yang jauh berbeda secara ekstrem terpaksa calon yang mendapat suara banyak dikalahkan oleh calon yang mendapat suara kecil, karena yang mendapat suara kecil nomor urutnya lebih kecil..”.66 bertentangan dengan prinsip “kesamaan kedudukan hukum dan kesempatan yang sama dalam pemerintahan (equality and opportunity before the law)” (Pasal 27 ayat (1) dan Pasal 28 D ayat (3) UUD 1945), artinya setiap calon anggota legislatif mempunyai kedudukan dan kesempatan yang sama di hadapan hukum, memberlakukan suatu ketentuan hukum yang tidak sama atas dua keadaan yang sama adalah sama tidak adilnya dengan memberlakukan suatu ketentuan hukum yang sama atas dua keadaan yang tidak sama”.
MK menegaskan dalam pertimbangan hukum putusan tersebut bahwa putusan tersebut besifat self executing dan dapat langsung laksanakan oleh KPU berdasarkan Pasal 213 UU No. 10 Tahun 2008.68 Hal tersebut ditegaskan kembali dalam konklusinya. bahwa: “bahwa secara teknis administrative pelaksanaan putusan Mahkamah diyakini tidak akan menimbulkan hambatan yang pelik karena Pihak Terkait Komisi Pemilihan Umum pada Sidang Pleno di Mahkamah Konstitusi tanggal 12 November 2008 menyatakan siap melaksanakan putusan Mahkamah jika memang harus menetapkan anggota legislatif berdasarkan suara terbanyak”. Selanjutnya, dalam amar putusannya, MK membatalkan ketentuan Pasal 214 tersebut.
Dari putusan tersebut, MK secara tidak langsung mengubah mekanisme penetapan calon terpilih yang sebelumnya menggunakan BPP dan nomor urut menjadi suara terbanyak. Padahal, ketika MK menyatakan dalam amar putusannya bahwa suatu ketentuan bertentangan dengan UUD 1945 sehingga tidak memiliki kekuatan hukum mengikat, maka terjadi “kekosangan peraturan
perundang-undangan” (wet vacuum). MK mengatakan bahwa putusan tersebut tidak terjadi kekosongan hukum, dengan dalih suara terbanyak, dan KPU dapat langsung melaksanakan tanpa pembentukan Perpu atau perubahan UU. Alasan ersebut hanya dapat diterima jika terdapat “norma baru”, yaitu mekanisme suara terbanyak. Padahal dalam Putusan MK sebelumnya, dikatakan bahwa: “Bahwa dalam menjatuhkan amar putusan, meskipun Mahkamah berwenang
menyatakan suatu norma hukum yang tercantum dalam suatu Undang- Undang inkonstitusional atau bertentangan dengan UUD 1945 dankarenanya tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat [vide Pasal 57 ayat (1) UU MK], namun Mahkamah tidak berwenang untuk membuat
rumusan baru suatu norma Undang-Undang.”71 Mekanisme “suara terbanyak” memang tidak ditegaskan dalam amar putusan MK namun ditegaskan dalam pertimbangan hukum yang mendasari putusan. Dengan demikian, hal tersebut tidak dianggap membentuk “norma baru”. Namun demikian, substansinya MK tetap menganggap bahwa suara terbanyak menggantikan mekanisme penetapan calon terpilih dengan BPP dan nomor urut.
Terhadap putusan tersebut, terdapat beberapa pendapat yang berbeda. Selain, Hakim Mahkamah Konstitusi Maria Farida yang dalam dissenting opinionnya menganggap bahwa putusan tersebut inkonsisten dengan pendapat MK bahwa ketentuan mengenai affirmative action terhadap caleg perempuan tidak bertentangan dengan UUD 1945, ada pula pendapat yang menganggap bahwa MK sudah memasuki ranah legislasi dan memungkikan terjadi sengketa antar Caleg. Seperti dikatakan oleh Mohammad Fajrul Falaakh bahwa List-PR system yang (mulai) dibuka memang memicu pertentangan antarcaleg dalam parpol dan rekonsiliasinya di ranah legislasi, serta desain sistem pemilu memang bukan wewenang MK. Fajrul juga mengatakan bahwa “Caleg atau parpolkah yang akhirnya memperoleh kursi? Mana formula untuk mengonversi suara, kepada parpol maupun kepada caleg, menjadi kursi? Memenangkan caleg dengan 100 persen BPP dan threshold 30 persen BPP, kembali ke UU Pemilu 2003, atau berdasarkan nomor urut belaka?”. Secara implisit pendapat terakhir
menegaskan bahwa putusan tersebut tidak self-executing,namun diperlukan pengaturan lebih lanjut. Putusan ini juga seperti sapu jagat karena menghapus semua kriteria penetapan calon terpilih, termasuk ketentuan mengenai keterpilihan berdasarkan BPP. Padahal, MK dapat saja memutuskan tidak membatalkan ketentuan mengenai 30% BPP dan hanya membatalkan ketentuan yang menyangkut keterpilihan calon berdasarkan nomor urut, sehingga suara terbanyak dapat diterapkan jika tidak ada calon yang memenuhi 30% BPP.
Terlepas dari kontroversi putusan MK tersebut, dapat dipastikan bahwa mekanisme suara terbanyak menggeser sistem pemilu yang diatur dalam UU No. 10 Tahun 2008. Sistem Pemulu DPR/DPRD tetap merupakan system proporsional, namun menjadi sepenuhnya terbuka (open-list system). Sistem suara terbanyak biasanya dipakai dalam sistem pemilu distrik dengan prinsip majority atau plurality. Sehingga dapat dikatakan bahwa sistem pemilu pasca
putusan MK, juga memiliki aspek sistem distrik.

0 komentar:

Posting Komentar